
KARAWANG – Jendela Bogor
Peringatan Hari Jadi Karawang ke-392 berubah menjadi ironi pahit. Karnaval budaya yang selama puluhan tahun menjadi denyut kebanggaan warga menghilang begitu saja, diganti dengan potongan kayu bekas dan besi tua—seolah-olah empat abad sejarah Karawang tak lebih berharga daripada rongsokan.
Bagi publik, ambisi mencetak rekor MURI demi piagam UMKM terasa seperti sandiwara murahan. Di mata mereka, piagam itu bukan simbol kemajuan, melainkan lambang pencitraan yang mengorbankan akar budaya sendiri. “Kalau ini yang disebut inovasi, maka yang mati lebih dulu adalah martabat Karawang,” sindir seorang warga.
Aktivis kebijakan publik Tatang Obet menilai langkah ini sebagai peringatan keras. “Bukan hemat, bukan kreatif—ini efisiensi yang dipaksakan dan penuh kepentingan,” ujarnya. “Tradisi yang selama ini memberi panggung bagi seniman dan budayawan lokal dipinggirkan begitu saja. Apakah ini awal dari peminggiran budaya Karawang demi kepentingan politik jangka pendek?”
Di tengah kekecewaan, banyak warga mengekspresikan kecurigaan lebih jauh: jika arah kebijakan terus seperti ini, mereka khawatir warisan leluhur Karawang perlahan-lahan akan dipadamkan. “Hari ini karnaval budaya hilang, besok mungkin suara para budayawan dibungkam. Lalu apa yang tersisa dari Karawang selain papan piagam MURI?” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada getir.
Desakan agar Bupati H. Aep Syaepuloh mengembalikan marwah budaya Karawang kini kian kencang. Publik menuntut agar ruang ekspresi para budayawan dibuka lebar, bukan dipersempit demi ambisi rekor. Karena bagi mereka, Karawang bukan sekadar piagam penghargaan—Karawang adalah sejarah, jiwa, dan identitas yang tidak boleh digadaikan.
Sindiran tajam warga pun menggema: “Selamat datang di Karawang ke-392—di mana empat abad kebanggaan bisa diganti dengan selembar sertifikat, dan panggung seni ditukar dengan besi tua.” (RED)